"Assalamu'alaikum, eyang Sastro. Semangat sekali dan makin segar saja kelihatannya", sapa saya kepada lelaki tua itu.
"Wa'alaikum
salam, alhamdulillah mas Ray tambah sehat. Iya mas, ini mau muter-muter lagi. Pagi
ini kok kelihatannya bakalan cerah. Sayangnya sampeyan ndak bisa ikut",
jawabnya dengan ramah. Selalu penuh semangat.
Sekilas saya
mengamati mata tuanya. Masih tajam, seolah menyimpan sejuta wibawa.
Garis wajahnya keras namun tutur katanya lembut menyejukkan.
Nama
lengkap beliau Pramono Sastrodiharjo Sosrodinigrat. Dulu orang-orang
biasa memanggilnya pak Pram atau mister Pram, namun saya lebih suka
memanggilnya eyang Sastro. Asli priyayi Solo, masih keturunan ningrat,
sekaligus pedagang dan pengusaha ulung. Sekitar 5 tahun yang lalu beliau
memutuskan memutuskan pensiun dari perusahaan besarnya. "Sudah saatnya
yang tua istirahat, biar yang muda-muda yang kerja", katanya bijak.
Hampir
tiap Minggu pagi beliau selalu nge-gowes keliling kota dengan sepeda
onthel tuanya. "Mumpung udara masih segar, soalnya sekarang harganya
mahal", canda beliau waktu pertama kali kami kenalan.
Kami cukup
sering bersepeda bareng. Biasanya kami hanya berdua atau bertiga, paling
banyak berlima. Saya sering bercanda menyebutnya "gowes plus-plus"
karena kami tak sekedar bersepeda keliling kota.
Kami selalu start
sehabis Subuhan di masjid An Nur ini. Selepas sarapan bubur ayam di
alun-alun kami muter-muter sebentar untuk pelemasan. Barulah kami
"blusukan" dari satu kampung ke kampung lainnya. Rute bersepeda yang
kurang lazim menurut saya. Namun justru disitulah indahnya.
Kami sering
berhenti sejenak. Sekedar membantu mbok Painem mengangkat belanjaan ke
angkot. Membantu mendorong gerobak kang Badrun yang kepayahan ketika
melewati tanjakan. Atau membantu mbah Surti menyeberang jalan.
Eyang
Sastro ini yang paling bersemangat. Tak ada canggung atau malu. Meski
sesekali nampak lelah namun ada binar bahagia dimatanya.
Sering
beliau bersedekah kepada orang-orang yang ditemuinya. Si Tantri sekarang
sudah bisa lega karena biaya sekolahnya hingga tamat SMP telah
ditanggung oleh eyang Sastro. Syaratnya cuma satu, belajar yang tekun
dan tak boleh ngamen lagi. Si Andri sekarang bisa bermain sepakbola
penuh semangat dengan sepasang sepatu barunya, menggantikan sepatu
bolanya yang telah butut. Pak Parman bisa melihat dengan jelas setelah
kacamata minusnya yang pecah digantikan dengan yang baru. Dan masih
banyak lagi.
"Jika dulu di perusahaan saya sering "ngemenke" CSR
(corporate social responsibility), maka inilah wujud kepedulian saya
kepada mereka setelah saya pensiun", ujar beliau waktu itu.
Pernah satu waktu, saat kami istirahat di bawah rimbunnya pohon ringin tua di pinggiran kota, saya coba bertanya kepada beliau.
"Maaf
eyang, mau nanya sedikit. Jika saya perhatikan, njenengan semangat
sekali membantu orang-orang yang kita temui, apalagi yang sedang
kesusahan. Kenapa eyang, kalau boleh saya tahu?", tanya saya waktu itu.
Sejenak eyang Sastro menatap saya. Diam sebentar. Matanya menerawang.
"Mungkin
hidupku tidak akan lama lagi, nak mas. Umurku sudah udzur, sudah tak
ada lagi yang ku kejar dalam hidup ini", kata beliau mengawali.
"Namun
bukan karena akan mati lalu aku suka bersedekah, seolah-olah sedang
mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya buat "sangu mati". Bukan, nak
mas", ujarnya menggarisbawahi.
"Selama ini Allah SWT telah
memberikan banyak nikmat dan ujian kepadaku dan keluarga. Kekayaan,
kesehatan, kebersamaan dan entah banyak lagi. Dan aku yakin orang-orang
kecil seperti mbok Painem atau Parmanlah yang menjadikanku besar".
"Mereka
itu banyak berjasa, hanya sayang nasibnya kurang beruntung. Tapi aku
yakin Allah Maha Adil, pasti ada maksud dibalik semua itu. Aku hanya
bermaksud membalas budi kebaikan mereka itu".
Hati saya ikut
trenyuh mendengarkan kata-kata eyang Sastro. Hidup ini memang kadang
kurang adil. Namun justru disitulah Allah SWT telah menyediakan ruang
bagi masing-masing kita untuk memberikan yang terbaik sesuai kedudukan
dan peran masing-masing. Bukankah Allah SWT hanya melihat amalan-amalan
kita? Sebab masing-masing peran telah memiliki nilai tanggung jawabnya
sendiri-sendiri, dan kelak itu yang akan kita pertanggungjawabkan di
hadapanNya.
Tiba-tiba beliau bergeser sehingga posisi duduk kami
berhimpitan. Lalu setengah berbisik beliau berkata kepada saya, "Hanya
dengan cara inilah saya berusaha mewujudkan rasa syukurku kepada
Allah. Aku malu nak mas, jika saat menghadap Allah kelak ternyata aku
tidak melakukan hal-hal bermanfaat ketika hidup di dunia. Kaki, tangan,
mulut, mata, telinga dan otak ini tidak memberikan kontribusi apapun
bagi orang-orang dan lingkungan sekitar. Lalu bagaimanana aku
akan menghadap kepada sang Khalik?", kata beliau bergetar.
Sekilas
saya melihat air mata eyang Sastro menetes. Bukan karena sedih, tapi
mungkin beliau merasa bahwa semua kebaikan yang telah dilakukannya
selama ini masih belumlah cukup untuk membalas semua nikmat dan kebaikan
yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya.
"Kelak sampeyan akan mengerti, nak mas", katanya seraya menepuk pundak saya.
"Yuk, kita lanjutkan perburuan kita", canda beliau seraya beranjak menuju sepeda tuanya.
Sepanjang
sisa perjalanan pagi itu, alhamdulillah hati saya kembali sedikit
terbuka. Pelajaran hidup yang sederhana namun sarat dengan makna.
"Kapan ya Allah, engkau karuniakan kelembutan hati seperti kelembutan hati orang tua itu", bisik saya dalam hati.
Saya
masih harus banyak belajar. Saya harus lebih sungguh-sungguh menjalani
sisa hidup saya. Saya harus lebih peduli kepada orang sekitar.
"Saya
hanya memohon ya Allah, jika kelak saya telah menjadi hamba yang
berguna, karuniakanlah kelembutan hati itu ya Allah, sehingga saya tidak
malu jika harus menghadapMu", doa saya dalam hati.
****
Akan datang hari..mulut terkunci..kata tak ada lagi..
Akan tiba masa..tak ada suara..dari mulut kita..
Berkata tangan kita..tentang apa yang dilakukannya..
Berkata kaki kita..kemana saja dia melangkahnya..
Tidak tahu kita..bila harinya..tanggung jawab tiba..
Rabbana...
Tangan kami..kaki kami..mulut kami..mata hati kami..
Luruskanlah..kukuhkanlah..
Di jalan cahaya..sempurna..
Mohon karunia kepada kami..
HambaMu yang hina..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar