mari berbagi..

berbagi..
meski tak banyak..
tetap saja berarti..

Sabtu, 04 Februari 2012

saya malu, nak mas...

"Assalamu'alaikum, eyang Sastro. Semangat sekali dan makin segar saja kelihatannya", sapa saya kepada lelaki tua itu.
"Wa'alaikum salam, alhamdulillah mas Ray tambah sehat. Iya mas, ini mau muter-muter lagi. Pagi ini kok kelihatannya bakalan cerah. Sayangnya sampeyan ndak bisa ikut", jawabnya dengan ramah. Selalu penuh semangat.
Sekilas saya mengamati mata tuanya. Masih tajam, seolah menyimpan sejuta wibawa. Garis wajahnya keras namun tutur katanya lembut menyejukkan.
Nama lengkap beliau Pramono Sastrodiharjo Sosrodinigrat. Dulu orang-orang biasa memanggilnya pak Pram atau mister Pram, namun saya lebih suka memanggilnya eyang Sastro. Asli priyayi Solo, masih keturunan ningrat, sekaligus pedagang dan pengusaha ulung. Sekitar 5 tahun yang lalu beliau memutuskan memutuskan pensiun dari perusahaan besarnya. "Sudah saatnya yang tua istirahat, biar yang muda-muda yang kerja", katanya bijak.
Hampir tiap Minggu pagi beliau selalu nge-gowes keliling kota dengan sepeda onthel tuanya. "Mumpung udara masih segar, soalnya sekarang harganya mahal", canda beliau waktu pertama kali kami kenalan.
Kami cukup sering bersepeda bareng. Biasanya kami hanya berdua atau bertiga, paling banyak berlima. Saya sering bercanda menyebutnya "gowes plus-plus" karena kami tak sekedar bersepeda keliling kota.
Kami selalu start sehabis Subuhan di masjid An Nur ini. Selepas sarapan bubur ayam di alun-alun kami muter-muter sebentar untuk pelemasan. Barulah kami "blusukan" dari satu kampung ke kampung lainnya. Rute bersepeda yang kurang lazim menurut saya. Namun justru disitulah indahnya.
Kami sering berhenti sejenak. Sekedar membantu mbok Painem mengangkat belanjaan ke angkot. Membantu mendorong gerobak kang Badrun yang kepayahan ketika melewati tanjakan. Atau membantu mbah Surti menyeberang jalan.
Eyang Sastro ini yang paling bersemangat. Tak ada canggung atau malu. Meski sesekali nampak lelah namun ada binar bahagia dimatanya.
Sering beliau bersedekah kepada orang-orang yang ditemuinya. Si Tantri sekarang sudah bisa lega karena biaya sekolahnya hingga tamat SMP telah ditanggung oleh eyang Sastro. Syaratnya cuma satu, belajar yang tekun dan tak boleh ngamen lagi. Si Andri sekarang bisa bermain sepakbola penuh semangat dengan sepasang sepatu barunya, menggantikan sepatu bolanya yang telah butut. Pak Parman bisa melihat dengan jelas setelah kacamata minusnya yang pecah digantikan dengan yang baru. Dan masih banyak lagi.
"Jika dulu di perusahaan saya sering "ngemenke" CSR (corporate social responsibility), maka inilah wujud kepedulian saya kepada mereka setelah saya pensiun", ujar beliau waktu itu.
Pernah satu waktu, saat kami istirahat di bawah rimbunnya pohon ringin tua di pinggiran kota, saya coba bertanya kepada beliau.
"Maaf eyang, mau nanya sedikit. Jika saya perhatikan, njenengan semangat sekali membantu orang-orang yang kita temui, apalagi yang sedang kesusahan. Kenapa eyang, kalau boleh saya tahu?", tanya saya waktu itu.
Sejenak eyang Sastro menatap saya. Diam sebentar. Matanya menerawang.
"Mungkin hidupku tidak akan lama lagi, nak mas. Umurku sudah udzur, sudah tak ada lagi yang ku kejar dalam hidup ini", kata beliau mengawali.
"Namun bukan karena akan mati lalu aku suka bersedekah, seolah-olah sedang mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya buat "sangu mati". Bukan, nak mas", ujarnya menggarisbawahi.
"Selama ini Allah SWT telah memberikan banyak nikmat dan ujian kepadaku dan keluarga. Kekayaan, kesehatan, kebersamaan dan entah banyak lagi. Dan aku yakin orang-orang kecil seperti mbok Painem atau Parmanlah yang menjadikanku besar".
"Mereka itu banyak berjasa, hanya sayang nasibnya kurang beruntung. Tapi aku yakin Allah Maha Adil, pasti ada maksud dibalik semua itu. Aku hanya bermaksud membalas budi kebaikan mereka itu".
Hati saya ikut trenyuh mendengarkan kata-kata eyang Sastro. Hidup ini memang kadang kurang adil. Namun justru disitulah Allah SWT telah menyediakan ruang bagi masing-masing kita untuk memberikan yang terbaik sesuai kedudukan dan peran masing-masing. Bukankah Allah SWT hanya melihat amalan-amalan kita? Sebab masing-masing peran telah memiliki nilai tanggung jawabnya sendiri-sendiri, dan kelak itu yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapanNya.
Tiba-tiba beliau bergeser sehingga posisi duduk kami berhimpitan. Lalu setengah berbisik beliau berkata kepada saya, "Hanya dengan cara inilah saya berusaha mewujudkan rasa syukurku kepada Allah. Aku malu nak mas, jika saat menghadap Allah kelak ternyata aku tidak melakukan hal-hal bermanfaat ketika hidup di dunia. Kaki, tangan, mulut, mata, telinga dan otak ini tidak memberikan kontribusi apapun bagi orang-orang dan lingkungan sekitar. Lalu bagaimanana aku akan menghadap kepada sang Khalik?", kata beliau bergetar.
Sekilas saya melihat air mata eyang Sastro menetes. Bukan karena sedih, tapi mungkin beliau merasa bahwa semua kebaikan yang telah dilakukannya selama ini masih belumlah cukup untuk membalas semua nikmat dan kebaikan yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya.
"Kelak sampeyan akan mengerti, nak mas", katanya seraya menepuk pundak saya.
"Yuk, kita lanjutkan perburuan kita", canda beliau seraya beranjak menuju sepeda tuanya.
Sepanjang sisa perjalanan pagi itu, alhamdulillah hati saya kembali sedikit terbuka. Pelajaran hidup yang sederhana namun sarat dengan makna.
"Kapan ya Allah, engkau karuniakan kelembutan hati seperti kelembutan hati orang tua itu", bisik saya dalam hati.
Saya masih harus banyak belajar. Saya harus lebih sungguh-sungguh menjalani sisa hidup saya. Saya harus lebih peduli kepada orang sekitar.
"Saya hanya memohon ya Allah, jika kelak saya telah menjadi hamba yang berguna, karuniakanlah kelembutan hati itu ya Allah, sehingga saya tidak malu jika harus menghadapMu", doa saya dalam hati.

****
Akan datang hari..mulut terkunci..kata tak ada lagi..
Akan tiba masa..tak ada suara..dari mulut kita..

Berkata tangan kita..tentang apa yang dilakukannya..
Berkata kaki  kita..kemana saja dia melangkahnya..

Tidak tahu kita..bila harinya..tanggung jawab tiba..

Rabbana...
Tangan kami..kaki kami..mulut kami..mata hati kami..
Luruskanlah..kukuhkanlah..
Di jalan cahaya..sempurna..

Mohon karunia kepada kami..
HambaMu yang hina..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar